Rabu, 15 Januari 2014

Pengaruh Penerepan Praktikum Virtual Berbasi Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa


b
 
a
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemerintah telah mengembangkan kurikulum pendidikan sains yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan peserta didik dalam bidang sains agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan teknologi. Menurut Puskur-Balitbang Depdiknas, fungsi dan tujuan pembelajaran sains di sekolah yang digariskan dalam kurikulum, yaitu memupuk sikap ilmiah; mengembangkan kemampuan analisis induktif dan deduktif, menguasai pengetahuan, konsep, dan prinsip sains, serta kemampuan mengembangkan pengetahuan; dan membentuk sikap positif (Bashori, 2010).
Penekanan pembelajaran sains  pada umumnya masih terbatas pada penguasaan kumpulan  pengetahuan yang berupa fakta, konsep,  dan prinsip. Itu pun tingkat aktualisainya masih relatif rendah. Rendahnya pencapaian pendidikan sains di Indonesia  diantaranya ditunjukkan pada Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 20009, yang  memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada urutan 60 dalam literasi sains dari 65 negara peserta

 (Elianur, 2011).
Tahun 2012, siswa dari 65 negara, dengan ukuran sampel antara 4.500 dan 10.000 berpartisipasi dalam Programme for International Student Assessment (PISA).
Seperti hasil-hasil siklus tiga tahunan PISA sebelumnya, capaian siswa Indonesia masih terpuruk di peringkat bawah. Secara statistik, nilai rata-rata matematika siswa Indonesia (375) tidak berbeda daripada Qatar dan Kolombia yang memiliki nilai rata-rata lebih tinggi (376), ataupun Peru (368) yang ada di urutan terbawah. Untuk sains, nilai rata-rata siswa Indonesia (382) tidak berbeda secara signifikan dari Qatar (384) dan Peru (372), yang lagi-lagi berada di urutan terbawah. Sementara untuk membaca, nilai rata-rata siswa Indonesia (396) tidak berbeda secara signifikan dari Tunisia, Kolombia, Jordania, dan Malaysia yang memiliki nilai rata-rata lebih tinggi ataupun Argentina, Albania, Kazakhstan, Qatar, dan Peru yang memiliki nilai lebih rendah. Adapun nilai rata-rata negara-negara OECD dalam matematika, sains, dan membaca berturut-turut 494, 501, dan 496.
(Budi Santoso, 2013)
Perlu dilakukan perubahan dalam cara belajar sains dari belajar untuk memahami konsep sains menjadi belajar untuk menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi  seperti kemampuan  berpikir kritis dan logis,kemampuan  berpikir kreatif, kemampuan menganalisis, serta  pemecahan masalah (dalam Bashori, 2010).
Pelaksanaannya  pembelajaran sains harus dirancang dan diarahkan pada sebanyak mungkin pelibatan  peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan sains melalui proses sains. Peserta didik harus diberi pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui  kegiatan  merancang percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menyusun laporan, serta mengkomunikasikan hasilnya. Untuk kepentingan ini laboratorium sains merupakan  wahana yang paling tepat.
Persoalannya adalah  secara umum prasarana, peran, dan fungsi laboratorium yang terdapat di sekolah-sekolah pada umumnya masih memprihatinkan.  Minimnya prasarana laboratorium  sains  dapat menghambat pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan pembelajaran sains akibat minimnya prasarana laboratorium adalah melalui praktikum virtual berbantuan simulasi  komputer. Praktikum virtual merupakan praktikum dengan memanfaatkan  media virtual seperti simulasi komputer atau media laboratorium virtual.
Manfaat dari praktikum virtual menurut Hut (2006) adalah  memudahkan siswa melakukan praktikum karena semua alat dan bahan telah disediakan secara virtual, membantu guru  mengelola dan melaksanakan praktikum, memberikan pereduksian waktu pembelajaran dan mengembangkan potensi praktikum menjadi pembelajaran mandiri dan meningkatkan fleksibilitas dalam belajar. Praktikum virtual tetap memungkinkan munculnya kegiatan mindson dan hands-on sehingga dapat digunakan untuk melatih kemampuan proses sains guna melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi  (Manurung dan Rustaman, 2010).
Salah satu solusi yang diyakini dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang dimilikinya adalah melalui visualisasi konsep-konsep fisika dalam bentuk praktikum virtual berbasis  problem solving.  Sesuai dengan tahap ke-tiga siklus pembelajaran Lawson (1995), cara berpikir kongkrit siswa harus ditingkatkan pada tahap yang lebih tinggi yaitu mampu berpikir abstrak  sehingga siswa dapat menguasai konsep-konsep yang lebih kompleks.  Untuk mewujudkan hal ini salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengintegrasikan  simulasi komputer  sebagai media praktikum virtual berbasis problem solving.
Berdasarkan latar belakang penulisan diatas, maka penulis mengangkat sebuah judul “Pengaruh Penerapan Praktikum Virtual Berbasis Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pokok Bahasan Medan Magnet di Sekitar Kawat Berarus Listrik”
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalahnya adalah, “Apakah terdapat pengaruh penerapan praktikum virtual berbasis problem solving terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kemampuan tinggi, sedang, dan rendah?
C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuannya adalah untuk melihat, apakah ada pengaruh penerapan praktikum visual berbasis problem solving terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kemmpuan tinggi, sedang, dan rendah.
D.    Manfaat
Adapun manfaat-manfaat yang ingin dicapai  adalah sebagai berikut :
1.    Bagi Siswa   :     Dapat memotivasi siswa dalam belajar dan memahami serta  meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
2.    Bagi Guru   :      Sebagai masukan dalam usaha peningkatan hasil belajar Fisika serta mendapatkan cara yang efektif dalam penyajian pelajaran Fisika  pada khususnya dan pada mata pelajaran lain pada umumnya.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.       Praktikum Virtual
Praktikum virtual merupakan praktikum dengan memanfaatkan media virtual seperti simulasi komputer atau media laboratorium virtual.  Laboratorium virtual adalah  visualisasi konsep dan fenomena alam  ke dalam bentuk  simulasi interaktif  melalui teknologi komputer (Hut, 2006). Laboratorium virtual merupakan pemodelan dari setiap komponen laboratorium nyata ke dalam simulasi virtual (Liem, dkk, 2009). Manfaat dari praktikum virtual menurut Hut (2006) adalah :
1.      Memudahkan siswa melakukan praktikum karena semua alat dan bahan telah disediakan secara virtual.
2.      Membantu guru mengelola dan melaksanakan praktikum.
3.      Memberikan pereduksian waktu pembelajaran.
4.      Mengembangkan potensi praktikum menjadi pembelajaran mandiri dan meningkatkan fleksibilitas dalam belajar.
Berdasarkan kajian literatur, diketahui  bahwa terdapat beberapa model laboratorium virtual sains yang telah berhasil dikembangkan dan dapat diakses secara bebas melalui internet.  Laboratorium virtual tersebut diantaranya Electronics Workbench (EWB) dipakai untuk praktikum rangkaian listrik, Microcondria Lab dipakai untuk praktikum Biologi, dan Translation Lab untuk praktikum membuat urutan RNA sederhana. Namun demikian, dapat diidentifikasi bahwa laboratorium virtual yang telah tersedia tersebut umumnya hanya dikembangkan untuk suatu suatu topik tertentu  saja dan belum dilengkapi perangkat pembelajaran seperti kumpulan  teori dasar yang melandasi setiap percobaan, petunjuk penggunaan simulasi, panduan praktikum,  tujuan praktikum, lembar kerja siswa, lembar latihan, dan lembar evaluasi.  Selain itu, laboratorium virtual sains yang telah tersedia belum dirancang secara spesifik untuk membidik aspek khusus tertentu seperti keterampilan, keterampilan berpikir kritis, problem solving, dan sebagainya.


B.        Model Pembelajaran Problem Solving
1.      Pengertian
Apa yang ada atau yang terjadi di sekitar lingkungan hidup manusia, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial dapat dijadikan media dan atau sumber belajar. Apalagi kehidupan orang dewasa. Mereka telah berpengetahuan dan berpengalaman.pengetahuan yang telah mereka miliki bisa saja menjadi sarana pendukung yang mempercepat pemahaman mereka, tetapi juga sekaligus bisa jadi menjadi penghalang bagi proses perubahan dirinya, karena telah merasa cukup dan mapan. Kebanyakan menusia ingin selalu nyaman di zona aman.
Model  problem solving (penyelesaian masalah) merupakan sarana memberikan pengertian dengan menstimulasi peserta didik untuk memperhatikan, menelaah dan berpikir tentang sesuatu masalah untuk selanjutnya  menganalisis masalah tersebut sebagai upaya untuk memecahkan masalah (Abdul Majid, 2006:142). 
Model pemecahan masalah memusatkan perhatian pada  upaya mencari dan menemukan jawaban atas suatu pertanyaan atau kasus (Udin S. Winataputra. Dkk, 2005). Model ini adalah  adalah proses pembelajaran yang dimulai dengan mengkaji masalah-masalah actual yang terjadi, masalah bisa dari fasilitator maupun dari peserta didik, lalu dari masalah ini peserta didik dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan model ini.
2.      Karakteristik  Model Problem Solving
Menurut Muhammad Syafrudin dalam artikelnya (2012), Model Problem Solving memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.       Pembelajaran berpusat dengan masalah.
b.      Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya dan mungkin akan  dihadapi oleh peserta diklat dalam kerja profesional mereka di masa depan.
c.       Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh peserta saat proses pembelajaran disusun berdasarkan masalah.
d.      Para peserta diklat bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
e.       Peserta diklat aktif dengan proses bersama.
f.       Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.
g.      Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
h.      Peserta diklat berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan  pengetahuan.
i.        Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.
j.        Peserta diklat belajar menyusun pengetahuan barunya melalui prior knowledge.
k.      Peserta diklat merasa memerlukan sinergi keilmuan yang terdiri atas Islamic studies, natural sciences, social sciences, dan human sciences.
3.      Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Model Problem Solving.
Langkah-Langkah Pembelajaran Dengan Metode Problem Solving
a.      Fasilitator menyampaikan alur pembelajaran yang dilalui.
b.      Fasilitator menyampaikan masalah untuk diselesaikan. Masalah bisa diangkat dari peserta, misalnya dengan menuliskan masalah yang biasanya muncul di lembar kertas pada awal pembelajaran.
c.      Peserta diklat berkelompok (satu kelompok 4-5orang).
d.      Peserta diklat memahami masalah secara jelas dengan cara melokalisasi permasalahan. Ingat pepatah Arab menyatakan ”Fahm al-su’âl nishf al-jawâb” (memahami soal itu sudah separuh dari jawaban).
e.      Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain dalam kelompok.
f.       Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang diperoleh.
g.      Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini peserta diklat harus berusaha menyelesaikan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok.
h.      Secara bergantian setiap kelompok memresentasikan di depan kelas, sedang kelompok lain menanggapi. Menarik kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi Melakukan refleksi.
(Abdul Majid, 2006: 143)
4.      Kelebihan-Kelebihan Model Problem Solving (Pemecahan Masalah)
a.       Metode ini memberikan kesempatan aktif pada setiap peserta didik untuk berpartisipasi.
b.      Keaktifan itu dapat dilakukan di luar kelas ata di luar jam pelajaran.
c.       Model ini melatih peserta didik memandang suatu masalah secara komprehensif, tidak secara parsial.
d.      Model ini melatih kemampuan yang sangat diperlukan dalam kehidupan nyata di masyarakat, yaitu:
·         Melatih Sense of Crisis dikalangan peserta didik.
·         Membiasakan hidup bertanggung jawab.
·         Melatih berpikir logis agar dapat dipercaya pihak lain
·         Membiasakan diri untuk berpikir sendiri.
·         Melatih sifat tidak bergantung pada orang lain.
·         Mengemmbangkan sifat suka mengadakan penelitian.
·         Model penyelesaian masalah selalu menghubungkan antara teori dan praktek, antara yang universal dan aktual, antara normatif dan historis, antara regulasi dan kenyataan hidup sehari-hari.
·         Melatih peserta didik agar dapat membedakan antara sumber masalah dan fenomena masalah.
(Muhammad Syafruddin, 2012)
5.      Kelemahan-Kelemahan Model Problem Solving (Pemecahan Masalah)
a.       Fasilitator  kadang-kadang mengalami kesukaran dalam menentukan masalah yang comprehensible.
b.      Sukar bagi fasilitator  mencari masalah yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik  mempunyai perbedaan individual, baik minat atau pun bakat dan lingkungan kerja. Ini akan menyebabkan bahwa sesuatu masalah yang menarik bagi sekelompok siswa, boleh jadi tidak menarik bagi siswa lainnya. Apalagi peserta didik juga terkadang memiliki pengetahuan dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
c.       Biasanya peserta kesulitan menentukan mana yang benar-benar masalah dan mana masih berupa fenomena masalah? Jika masih kesulitan memahami masalah, maka tentu lebih rumit mencari alternatif penyelesaiannya.
(Muhammad Syafruddin, 2012)
6.      Cara-Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Model Problem Solving (Pemecahan Masalah)
a.       Masalah yang diajukan untuk diselesaikan, carilah masalah yang aktual, sering terjadi. Untuk itu juga perlu kiranya memperoleh input dari siswa terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapat mereka tentang masalah itu. Apakah kemampuan dan pengetahuan peserta didik diperkirakan masih sanggup untuk menyelesaikannya.
b.      Diusahakan agar melihat sesuatu masalah dari sudut  lain, dalam arti masalah itu harus diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prior knowledge  dan kemampuan siswa.
c.       Uraikanlah suatu masalah menjadi unsur-unsur sebab  akibat, dan pilihlah mana yang betul-betul relevan serta cocok dengan keadaan peserta didik. Jangan sampai terjadi kekaburan bagi peserta didik tentang dari  mana mereka harus memulai tugasnya.
d.      Cara menyelesaikan masalah, peserta didik bisa dibantu dengan membuat model pohon masalah, atau memetakan masalah (problem mapping) dan masing-masing dicarikan alternatif penyelesaiannya.
( Muhammad Syafruddin, 2012)
C.    Berpikir Kritis
1.      Pengertian
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan tingkat tinggi yang sangat penting diajarkan kepada siswa selain keterampilan berpikir kreatif. Apa itu berpikir kritis? Berikut beberapa definisi mengenai berpikir kritis (keterampilan berpikir kritis).
a.       Definisi berpikir kritis menurut Ennis (1962) : Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
b.      Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir kritis, misalnya  :
·         Membanding dan membedakan,
·         Membuat kategori,
·         Meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan,
·         Menerangkan sebab,
·         Membuat sekuen / urutan,
·         Menentukan sumber yang dipercayai, dan
·         Membuat ramalan.
(Mustaji, 2012)
c.       Definisi berpikir kritis menurut Walker (2006) :Berpikir kritis adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini digunakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.
d.      Definisi berpikir kritis menurut Paul (1993) :Berpikir kritis adalah mode berpikir  mengenai hal, substansi atau masalah apa saja di mana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya”.
2.      Cara Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis
Untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran maka perlu melakukan pengukuran (evaluasi) terhadap pembelajaran tersebut. Pengukuran sebaiknya dilakukan bukan hanya pada hasilnya tapi juga pada prosesnya. Untuk ketrampilan berpikir kritis penilaian proses mutlak diperlukan. Lalu bagaimana caranya? Apa saja yang perlu diukur.
Menurut Harissa Mardiana (2013) menyatakan bahwa yang mendasari pengembangan kemampuan siswa adalah kecakapan berpikir kritis sebagai ketrampilan tertinggi dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu dibuat instrumen yang berurusan dengan kedua fokus tersebut.
Harissa Mardiana (2013) merekomendasikan dua macam dasar yang bisa digunakan untuk menyusun instrumen ketrampilan berpikir kritis yaitu Taksonomi Bloom dan Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving). Taksonomi Bloom yang memuat level berpikir meliputi: ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi tepat untuk mengintegrasikan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan penguasaan ilmu pengetahuan. Sedangkan Pendekatan Pemecahan Masalah dapat dirumuskan dalam beberapa variabel berikut: tujuan, kata kunci permasalahan, menyikapi masalah, sudut pandang, informasi, konsep, asumsi, alternatif pemecahan masalah, interprestasi, dan implikasi.

3.      Indikator Berpikir Kritis
Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ennis
No
Kelompok
Indikator
Sub indikator
1
Memberikan penjelasan sederhana
Memfokuskan pertanyaan
  • Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan
  • Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban
  • Menjaga kondisi berpikir
Menganalisis argumen
  • Mengidentifikasi kesimpulan
  • Mengidentifikasi kalimat-kalimat pertanyaan
  • Mengidentifikasi kalimat-kalimat bukan pertanyaan
  • Mengidentifikasi dan menangani suatu ketidaktepatan
  • Melihat struktur dari suatu argumen
  • Membuat ringkasan
Bertanya dan menjawab pertanyaan
  • Memberikan penjelasan
sederhana
  • Menyebutkan contoh
2
Membangun keterampilan dasar
Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
  • Mempertimbangkan keahlian
  • Mempertimbangkan kemenarikan konflik
  • Mempertimbangkan kesesuaian sumber
  • Mempertimbangkan reputasi
  • Mempertimbangkan penggunaan prosedur yang tepat
  • Mempertimbangkan risiko untuk reputasi
  • Kemampuan untuk memberikan alasan
  • Kebiasaan berhati-hati
Mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi
  • Melibatkan sedikit dugaan
  • Menggunakan waktu yang singkat antara observasi dan laporan
  • Melaporkan hasil observasi
  • Merekam hasil observasi
  • Menggunakan bukti-bukti yang benar
  • Menggunakan akses yang baik
  • Menggunakan teknologi
  • Mempertanggungjawabkan hasil observasi
3
Menyimpulkan
Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
  • Siklus logika Euler
  • Mengkondisikan logika
  • Menyatakan tafsiran
Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
  • Mengemukakan hal yang umum
  • Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis
  • mengemukakan hipotesis
  • merancang eksperimen
  • menarik kesimpulan sesuai fakta
  • menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki
Membuat dan menentukan hasil pertimbangan
  • Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar belakang fakta-fakta
  • Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan akibat
  • Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan penerapan fakta
  • Membuat dan menentukan hasil pertimbangan keseimbangan dan masalah
4
Memberikan penjelasan lanjut
Mendefinisikan istilah danmempertimbangkan suatu definisi
  • Membuat bentuk definisi
  • Strategi membuat definisi
  • bertindak dengan memberikan penjelasan lanjut
  • mengidentifikasi dan menangani ketidakbenaran yg disengaja
  • Membuat isi definisi
Mengidentifikasi asumsi-asumsi
  • Penjelasan bukan pernyataan
  • Mengonstruksi argumen
5
Mengatur strategi dan taktik
Menentukan suatu tindakan
  • Mengungkap masalah
  • Memilih kriteria untuk mempertimbangkan solusi yang mungkin
  • Merumuskan solusi alternatif
  • Menentukan tindakan sementara
  • Mengulang kembali
  • Mengamati penerapannya
(Evi Sapinatul, 2011)
D.    Hubungan Praktikum Virtual Berbasis Problem Solving terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutarno, (2013) hasil tes awal penguasaan konsep, mahasiswa dikelompokkan menjadi tiga kelompok kemampuan yaitu kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Sebelum pembelajaran, mahasiswa pada kelompok kemampuan tinggi, sedang, dan rendah diberikan tes kemampuan berpikir kritis. Skor rerata tes awal ketiga kelompok kemampuan tersebut secara berurutan yaitu38,46; 35,71; dan 24,62. Berdasarkan hasil uji beda rerata skor tes awal kemampuan berpikir kritis ketiga sampel menggunakan uji Anova satu jalur diketahui bahwa kelompok kemampuan tinggi dan sedang memiliki tingkat kemampuan berpikir kritis awal yang tidak berbeda, dan keduanya lebih besar bila dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis awal kelompok kemampuan rendah.
Setelah dilakukan penerapan pembelajaran dengan menerapkan praktikum virtual berbasis problem solving, selanjutnya diberikan tes akhir untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis akhir siswa pada masing-masing kelompok kemampuan. Skor rerata tes akhir ketiga kelompok kemampuan tersebut secara berurutan yaitu 68,65; 63,85; dan 52,69. Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir kemudian dilakukan analisis gain yang menunjukkan besarnya peningkatan skor ketiga kelompok kemampuan tersebut. Besar rerata gain yang diperoleh ketiga kelompok kemampuan tersebut secara berurutan sebesar 30,38; 27,69 dan 28,08.
Tabel 1. Data tes kemampuan berpikir kritis
Kelompok Kemampuan
Rerata Tes Awal
Rerata Tes Akhir
Rerata Gain
Rerata N-gain
Kategori N-gain
Tinggi
38, 46
68, 65
30, 38
0, 48
Sedang
Sedang
35, 71
63, 85
27, 69
0, 43
Sedang
Rendah
24, 62
52, 69
28, 08
0, 38
Sedang
E.     Materi
Hukum Ohm
Masih ingat dengan hukum Ohm? Sewaktu di SMP kalian telah belajar tentang hukum Ohm. Hukum ini mempelajari tentang hubungan kuat arus dengan beda potensial ujung-ujung hambatan.
George Simon Ohm (1787-1854), inilah nama lengkap ilmuwan yang pertama kali menjelaskan hubungan kuat arus dengan beda potensial ujung-ujung hambatan. Seperti penjelasan di depan, jika ada beda potensial antara dua titik dan dihubungkan melalui penghantar maka akan timbul arus listrik. Penghantar tersebut dapat diganti dengan resistor misalnya lampu. Berarti jika ujung-ujung lampu diberi beda potensial maka lampu itu dialiri arus. Perhatikan Gambar 8.2.  

(a)
Dalam eksperimennya, Ohm menemukan bahwa setiap beda potensial ujung-ujung resistor R dinaikkan maka arus yang mengalir juga akan naik. Bila beda potensial diperbesar 2x ternyata kuat arusnya juga menjadi 2x semula. Apakah hubungan yang terjadi? Dari sifatnya itu dapat ditentukan bahwa beda potensialnya sebanding dengan kuat arus yang lewat. Hubungan ini dapat dirumuskan:
Gambar 2.1


V ~ I
Hubungan V dan I yang diperoleh Ohm ini sesuai dengan grafikV-I yang diperoleh dari eksperimen, polanya seperti pada Gambar 8.3. Agar kesebandingan di atas sama, Ohm menggunakan konstanta perbandingannya sebesar R (resistivitas = hambatan), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut.
Gambar 2.2
V = I R ................................
Persamaan inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum Ohm, dengan R = besar hambatan dan diberi satuan Ohm disimbulkan Ω.
 (Sri Handayani, 2009)



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan melihat data hasil penelitian yang sudah ada, maka  kesimpulan dari makalah ini adalah :
·         Terdapat pengaruh penerapan praktikum virtual berbasis problem solving pada mata pelajaran fisika terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kemampuan sedang sebesar 5,8% dan kelas rendah sebesar 12,7%. Pengaruh tersebut tergolong pada kategori lemah. Sedangkan pada kelompokkemampuan tinggi penerapan praktikum virtual berbasis problem solving tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis.
B.     Saran
·         Sebelum menerapkan praktikum virtual dalam pembelajaran, sebaiknya tinjaulah terlebih dahulu pokok bahasan yang akan diajarkan. Apakah pokok bahasan tersebut cocok menggunakan praktikum virtual atau tidak.









DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar  Kompetensi Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Bashori, H. 2010. Model Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving pada Pembelajaran Konsep Pembiasan Cahaya untuk Meningkatkan Kemampuan Proses Sains  dan Penguasaan konsep Siswa SMP.  Tesis. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Budi Santoso. 2013. Menyikapi Hasil PISA 2012. (online) (http://budisansblog.blogspot.com/2013/12/menyikapi-hasil-pisa-2012.html). Diakses Tanggal 12/01/2014.
Elianur, R.  2011.  Indonesia Peringkat 10 besar terbawah dari 65 Negara Peserta PISA.  (online) (http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/30/indonesia-peringkat-10-besar-terbawah-dari-65-negara-pesertapisa/). Diakses Tanggal 18/12/2013.
Ennis, Robert H. 1962. A concept of critical thinking. Harvard Educational Review, Vol 32(1), 81-111.
Handayani, Sri. Damari, Ari. 2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Hut, P.  2006.  Virtual laboratories. Progress of Theoretical Physics, Vol. 11,  No. 3
Manurung, S dan Rustaman, N.  (2010). Hands and minds activity dalam pembelajaran fisika kuantum untuk calon guru. Prosiding Seminar Nasional Fisika. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Mardiana, Harissa.  2013. Keterampilan Berpikir Kritis, Cara Mengajarkan, dan Cara Mengkurnya. (online). (http://harissa-mardiana.blogspot.com/2013/05/ketrampilan-berpikir-kritis-cara.html) Diakses Tanggal 12/01/2014.
Mustaji (2012). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. (online). (http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran) Diakses Tanggal 23/12/2013.
Paul, Richard (1993).Critical Thinking: How to Prepare Students for a Rapidly Changing World. Foundation for Critical Thinking.
Sapinatul Evi. 2011. Indikator Berpikir Kritis dan Kreatif. (online) (http://evisapinatulbahriah.wordpress.com/2011/06/30/indikator-berpikir-kritis-dan-kreatif/). Diakses Tanggal 1301/2014.
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasi Proses Belajar Mengajar. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Sutarno. 2013. Pengaruh Penerapan Praktikum Virtual Berbasis Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa. Bengkulu: Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Bengkulu.
Syafruddin, Muhammad. 2012. Model Problem Solving Pada Diklat Calon Penghulu. (online) (http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/2.MODELPROBLEMSOLVING.pdf). Diakses Tanggal 12/01/2014.
SyahMuhibbin. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta; RajawaliPress
Udin S. Winataputra. Dkk. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Universitas  Terbuka (online). (http://garduguru.blogspot.com/2008/12/metode-pembelajaran-berbasis-masalah/)). Diakses Tanggal 18/12/2013.
Walker, Paul & Finney, Nicholas. (1999). Skill Development and Critical Thinking in Higher Education. Higher Education Research & Development Unit, University College, London WC1E 6BT, UK.