|
|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah telah
mengembangkan kurikulum pendidikan sains yang menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan peserta didik dalam bidang sains agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
dan kemajuan teknologi. Menurut
Puskur-Balitbang Depdiknas, fungsi dan tujuan
pembelajaran sains di sekolah yang digariskan dalam kurikulum, yaitu memupuk
sikap ilmiah; mengembangkan kemampuan analisis induktif dan deduktif, menguasai
pengetahuan, konsep, dan prinsip sains, serta kemampuan mengembangkan
pengetahuan; dan membentuk sikap positif (Bashori, 2010).
Penekanan
pembelajaran sains pada umumnya masih
terbatas pada penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep,
dan prinsip. Itu pun tingkat aktualisainya masih relatif rendah. Rendahnya
pencapaian pendidikan sains di Indonesia
diantaranya ditunjukkan pada Programme for International
Student Assessment (PISA) tahun 20009, yang memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada urutan 60 dalam literasi sains dari 65 negara peserta.
(Elianur, 2011).
Tahun 2012, siswa dari 65 negara, dengan ukuran sampel antara
4.500 dan 10.000 berpartisipasi dalam Programme for International Student
Assessment (PISA).
Seperti hasil-hasil siklus
tiga tahunan PISA sebelumnya, capaian siswa Indonesia masih terpuruk di
peringkat bawah. Secara statistik, nilai rata-rata matematika siswa Indonesia
(375) tidak berbeda daripada Qatar dan Kolombia yang memiliki nilai rata-rata lebih
tinggi (376), ataupun Peru (368) yang ada di urutan terbawah. Untuk sains,
nilai rata-rata siswa Indonesia (382) tidak berbeda secara signifikan dari
Qatar (384) dan Peru (372), yang lagi-lagi berada di urutan terbawah. Sementara
untuk membaca, nilai rata-rata siswa Indonesia (396) tidak berbeda secara
signifikan dari Tunisia, Kolombia, Jordania, dan Malaysia yang memiliki nilai
rata-rata lebih tinggi ataupun Argentina, Albania, Kazakhstan, Qatar, dan Peru
yang memiliki nilai lebih rendah. Adapun nilai rata-rata negara-negara OECD
dalam matematika, sains, dan membaca berturut-turut 494, 501, dan 496.
(Budi
Santoso, 2013)
Perlu dilakukan perubahan
dalam cara belajar sains dari belajar untuk memahami konsep sains menjadi
belajar untuk menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan berpikir kritis dan logis,kemampuan berpikir kreatif, kemampuan menganalisis,
serta pemecahan masalah (dalam Bashori, 2010).
Pelaksanaannya pembelajaran sains harus dirancang dan
diarahkan pada sebanyak mungkin pelibatan
peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan sains melalui
proses sains. Peserta didik harus diberi pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis
melalui kegiatan merancang percobaan, mengumpulkan, mengolah,
dan menafsirkan data, menyusun laporan, serta mengkomunikasikan hasilnya. Untuk
kepentingan ini laboratorium sains merupakan
wahana yang paling tepat.
Persoalannya
adalah secara umum prasarana, peran, dan
fungsi laboratorium yang terdapat di sekolah-sekolah pada umumnya masih
memprihatinkan. Minimnya prasarana
laboratorium sains dapat menghambat pengembangan kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan
pembelajaran sains akibat minimnya prasarana laboratorium adalah melalui
praktikum virtual berbantuan simulasi
komputer. Praktikum virtual merupakan praktikum dengan memanfaatkan media virtual seperti simulasi komputer atau
media laboratorium virtual.
Manfaat dari
praktikum virtual menurut Hut (2006) adalah
memudahkan siswa melakukan praktikum karena semua alat dan bahan telah
disediakan secara virtual, membantu guru
mengelola dan melaksanakan praktikum, memberikan pereduksian waktu
pembelajaran dan mengembangkan potensi praktikum menjadi pembelajaran mandiri
dan meningkatkan fleksibilitas dalam belajar. Praktikum virtual tetap
memungkinkan munculnya kegiatan mindson dan hands-on sehingga dapat digunakan
untuk melatih kemampuan proses sains guna melatih kemampuan berpikir tingkat
tinggi (Manurung dan Rustaman, 2010).
Salah satu solusi
yang diyakini dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang
dimilikinya adalah melalui visualisasi konsep-konsep fisika dalam bentuk
praktikum virtual berbasis problem
solving. Sesuai dengan tahap ke-tiga
siklus pembelajaran Lawson (1995), cara berpikir kongkrit siswa harus
ditingkatkan pada tahap yang lebih tinggi yaitu mampu berpikir abstrak sehingga siswa dapat menguasai konsep-konsep
yang lebih kompleks. Untuk mewujudkan
hal ini salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengintegrasikan simulasi komputer sebagai media praktikum virtual berbasis
problem solving.
Berdasarkan latar belakang penulisan diatas,
maka penulis mengangkat sebuah judul “Pengaruh Penerapan Praktikum Virtual Berbasis Problem
Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pokok Bahasan Medan
Magnet di Sekitar Kawat Berarus Listrik”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalahnya adalah, “Apakah terdapat
pengaruh penerapan praktikum virtual berbasis problem solving terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kemampuan tinggi, sedang,
dan rendah?’
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuannya adalah untuk melihat, apakah ada pengaruh penerapan
praktikum visual berbasis problem solving terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa kelompok kemmpuan tinggi,
sedang, dan rendah.
D. Manfaat
Adapun
manfaat-manfaat yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut :
1. Bagi
Siswa : Dapat
memotivasi siswa dalam belajar dan memahami serta meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
2. Bagi
Guru : Sebagai
masukan dalam usaha peningkatan hasil belajar Fisika serta mendapatkan cara
yang efektif dalam penyajian pelajaran Fisika
pada khususnya dan pada mata pelajaran lain pada umumnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Praktikum
Virtual
Praktikum virtual merupakan
praktikum dengan memanfaatkan media virtual seperti simulasi komputer atau
media laboratorium virtual. Laboratorium virtual adalah visualisasi
konsep dan fenomena alam ke dalam bentuk simulasi interaktif
melalui teknologi komputer (Hut, 2006). Laboratorium virtual merupakan
pemodelan dari setiap komponen laboratorium nyata ke dalam simulasi virtual
(Liem, dkk, 2009). Manfaat dari praktikum virtual menurut Hut (2006) adalah :
1. Memudahkan siswa melakukan praktikum
karena semua alat dan bahan telah disediakan secara virtual.
2. Membantu guru mengelola dan melaksanakan
praktikum.
3. Memberikan pereduksian waktu
pembelajaran.
4. Mengembangkan potensi praktikum menjadi
pembelajaran mandiri dan meningkatkan fleksibilitas dalam belajar.
Berdasarkan kajian literatur,
diketahui bahwa terdapat beberapa model laboratorium virtual sains yang
telah berhasil dikembangkan dan dapat diakses secara bebas melalui
internet. Laboratorium virtual tersebut diantaranya Electronics
Workbench (EWB) dipakai untuk praktikum rangkaian listrik, Microcondria
Lab dipakai untuk praktikum Biologi, dan Translation Lab untuk
praktikum membuat urutan RNA sederhana. Namun demikian, dapat diidentifikasi
bahwa laboratorium virtual yang telah tersedia tersebut umumnya hanya
dikembangkan untuk suatu suatu topik tertentu saja dan belum dilengkapi
perangkat pembelajaran seperti kumpulan teori dasar yang melandasi setiap
percobaan, petunjuk penggunaan simulasi, panduan praktikum, tujuan praktikum,
lembar kerja siswa, lembar latihan, dan lembar evaluasi. Selain itu,
laboratorium virtual sains yang telah tersedia belum dirancang secara spesifik
untuk membidik aspek khusus tertentu seperti keterampilan, keterampilan
berpikir kritis, problem solving, dan sebagainya.
B.
Model
Pembelajaran Problem Solving
1.
Pengertian
Apa yang ada atau yang terjadi di sekitar lingkungan hidup manusia, baik
itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial dapat dijadikan media dan atau
sumber belajar. Apalagi kehidupan orang dewasa. Mereka telah berpengetahuan dan
berpengalaman.pengetahuan yang telah mereka miliki bisa saja menjadi sarana
pendukung yang mempercepat pemahaman mereka, tetapi juga sekaligus bisa jadi
menjadi penghalang bagi proses perubahan dirinya, karena telah merasa cukup dan
mapan. Kebanyakan menusia ingin selalu nyaman di zona aman.
Model problem solving
(penyelesaian masalah) merupakan sarana memberikan pengertian dengan menstimulasi peserta didik untuk memperhatikan,
menelaah dan berpikir tentang sesuatu masalah untuk selanjutnya menganalisis masalah tersebut sebagai upaya
untuk memecahkan masalah (Abdul Majid, 2006:142).
Model pemecahan masalah memusatkan perhatian pada upaya mencari dan menemukan jawaban atas
suatu pertanyaan atau kasus (Udin S. Winataputra. Dkk, 2005). Model ini
adalah adalah proses pembelajaran yang
dimulai dengan mengkaji masalah-masalah actual yang terjadi, masalah bisa dari
fasilitator maupun dari peserta didik, lalu dari masalah ini peserta didik
dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior
knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi
dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan model
ini.
2.
Karakteristik Model Problem Solving
Menurut Muhammad Syafrudin dalam artikelnya (2012), Model Problem Solving memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a.
Pembelajaran berpusat dengan
masalah.
b.
Masalah yang digunakan merupakan
masalah dunia sebenarnya dan mungkin akan
dihadapi oleh peserta diklat dalam kerja profesional mereka di masa
depan.
c.
Pengetahuan yang diharapkan dicapai
oleh peserta saat proses pembelajaran disusun berdasarkan masalah.
d.
Para peserta diklat bertanggung
jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
e.
Peserta diklat aktif dengan proses
bersama.
f.
Pengetahuan menyokong pengetahuan
yang baru.
g.
Pengetahuan diperoleh dalam konteks
yang bermakna.
h.
Peserta diklat berpeluang untuk
meningkatkan serta mengorganisasikan
pengetahuan.
i.
Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan
dalam kelompok kecil.
j.
Peserta diklat belajar menyusun
pengetahuan barunya melalui prior knowledge.
k.
Peserta diklat merasa memerlukan
sinergi keilmuan yang terdiri atas Islamic studies, natural sciences, social
sciences, dan human sciences.
3.
Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Model Problem Solving.
Langkah-Langkah Pembelajaran Dengan Metode Problem Solving
a.
Fasilitator menyampaikan alur
pembelajaran yang dilalui.
b.
Fasilitator menyampaikan masalah
untuk diselesaikan. Masalah bisa diangkat dari peserta, misalnya dengan
menuliskan masalah yang biasanya muncul di lembar kertas pada awal
pembelajaran.
c.
Peserta diklat berkelompok (satu
kelompok 4-5orang).
d.
Peserta diklat memahami masalah
secara jelas dengan cara melokalisasi permasalahan. Ingat pepatah Arab
menyatakan ”Fahm al-su’âl nishf al-jawâb” (memahami soal itu sudah separuh dari
jawaban).
e.
Mencari data atau keterangan yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan jalan
membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain dalam
kelompok.
f.
Menetapkan jawaban sementara dari
masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang
diperoleh.
g.
Menguji kebenaran jawaban sementara
tersebut. Dalam langkah ini peserta diklat harus berusaha menyelesaikan masalah
sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok.
h.
Secara bergantian setiap kelompok
memresentasikan di depan kelas, sedang kelompok lain menanggapi. Menarik
kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi Melakukan refleksi.
(Abdul Majid,
2006: 143)
4.
Kelebihan-Kelebihan Model Problem Solving (Pemecahan
Masalah)
a.
Metode ini
memberikan kesempatan aktif pada setiap peserta didik untuk berpartisipasi.
b.
Keaktifan itu
dapat dilakukan di luar kelas ata di luar jam pelajaran.
c.
Model ini
melatih peserta didik memandang suatu masalah secara komprehensif, tidak secara
parsial.
d.
Model ini
melatih kemampuan yang sangat diperlukan dalam kehidupan nyata di masyarakat,
yaitu:
·
Melatih Sense of Crisis dikalangan peserta didik.
·
Membiasakan
hidup bertanggung jawab.
·
Melatih
berpikir logis agar dapat dipercaya pihak lain
·
Membiasakan
diri untuk berpikir sendiri.
·
Melatih sifat
tidak bergantung pada orang lain.
·
Mengemmbangkan
sifat suka mengadakan penelitian.
·
Model
penyelesaian masalah selalu menghubungkan antara teori dan praktek, antara yang
universal dan aktual, antara normatif dan historis, antara regulasi dan
kenyataan hidup sehari-hari.
·
Melatih
peserta didik agar dapat membedakan antara sumber masalah dan fenomena masalah.
(Muhammad Syafruddin, 2012)
5.
Kelemahan-Kelemahan Model Problem Solving (Pemecahan
Masalah)
a.
Fasilitator kadang-kadang mengalami kesukaran dalam
menentukan masalah yang comprehensible.
b.
Sukar bagi fasilitator mencari masalah yang menarik dan sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik
mempunyai perbedaan individual, baik minat atau pun bakat dan lingkungan
kerja. Ini akan menyebabkan bahwa sesuatu masalah yang menarik bagi sekelompok
siswa, boleh jadi tidak menarik bagi siswa lainnya. Apalagi peserta didik juga
terkadang memiliki pengetahuan dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
c.
Biasanya peserta kesulitan
menentukan mana yang benar-benar masalah dan mana masih berupa fenomena
masalah? Jika masih kesulitan memahami masalah, maka tentu lebih rumit mencari
alternatif penyelesaiannya.
(Muhammad Syafruddin, 2012)
6.
Cara-Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Model
Problem Solving (Pemecahan Masalah)
a.
Masalah yang diajukan untuk
diselesaikan, carilah masalah yang aktual, sering terjadi. Untuk itu juga perlu
kiranya memperoleh input dari siswa terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapat
mereka tentang masalah itu. Apakah kemampuan dan pengetahuan peserta didik
diperkirakan masih sanggup untuk menyelesaikannya.
b.
Diusahakan agar melihat sesuatu
masalah dari sudut lain, dalam arti
masalah itu harus diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prior
knowledge dan kemampuan siswa.
c.
Uraikanlah suatu masalah
menjadi unsur-unsur sebab akibat, dan
pilihlah mana yang betul-betul relevan serta cocok dengan keadaan peserta didik.
Jangan sampai terjadi kekaburan bagi peserta didik tentang dari mana mereka harus memulai tugasnya.
d.
Cara menyelesaikan masalah,
peserta didik bisa dibantu dengan membuat model pohon masalah, atau memetakan
masalah (problem mapping) dan masing-masing
dicarikan alternatif penyelesaiannya.
( Muhammad Syafruddin, 2012)
C. Berpikir
Kritis
1.
Pengertian
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan
tingkat tinggi yang sangat penting diajarkan kepada siswa selain keterampilan berpikir kreatif. Apa itu berpikir kritis?
Berikut beberapa definisi mengenai berpikir kritis (keterampilan berpikir
kritis).
a.
Definisi berpikir kritis menurut
Ennis (1962) : “Berpikir
kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada
pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan”.
b.
Berpikir kristis adalah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang
apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh
kemampuan berpikir kritis, misalnya :
·
Membanding dan
membedakan,
·
Membuat kategori,
·
Meneliti
bagian-bagian kecil dan keseluruhan,
·
Menerangkan
sebab,
·
Membuat sekuen /
urutan,
·
Menentukan sumber
yang dipercayai, dan
·
Membuat ramalan.
(Mustaji, 2012)
c.
Definisi berpikir kritis menurut
Walker (2006) : “Berpikir
kritis adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang
didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini digunakan
sebagai dasar saat mengambil tindakan”.
d.
Definisi berpikir kritis menurut Paul
(1993) : “Berpikir kritis adalah mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja di mana si pemikir meningkatkan
kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang
melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya”.
2. Cara Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis
Untuk
mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran maka perlu melakukan pengukuran (evaluasi)
terhadap pembelajaran tersebut. Pengukuran sebaiknya dilakukan bukan hanya pada
hasilnya tapi juga pada prosesnya. Untuk ketrampilan berpikir kritis penilaian
proses mutlak diperlukan. Lalu bagaimana caranya? Apa saja yang perlu diukur.
Menurut Harissa Mardiana (2013) menyatakan bahwa yang mendasari pengembangan kemampuan siswa adalah
kecakapan berpikir kritis sebagai ketrampilan tertinggi dan meningkatkan
penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu dibuat instrumen yang
berurusan dengan kedua fokus tersebut.
Harissa Mardiana (2013) merekomendasikan dua macam dasar yang bisa digunakan
untuk menyusun instrumen ketrampilan berpikir kritis yaitu Taksonomi Bloom dan
Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving). Taksonomi Bloom yang memuat level
berpikir meliputi: ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi tepat untuk mengintegrasikan pengembangan kemampuan berpikir kritis
dan penguasaan ilmu pengetahuan. Sedangkan Pendekatan Pemecahan Masalah dapat
dirumuskan dalam beberapa variabel berikut: tujuan, kata kunci permasalahan,
menyikapi masalah, sudut pandang, informasi, konsep, asumsi, alternatif
pemecahan masalah, interprestasi, dan implikasi.
3. Indikator Berpikir Kritis
Indikator Keterampilan Berpikir
Kritis Menurut Ennis
No
|
Kelompok
|
Indikator
|
Sub indikator
|
1
|
Memberikan penjelasan sederhana
|
Memfokuskan pertanyaan
|
|
Menganalisis argumen
|
|
||
Bertanya dan menjawab pertanyaan
|
sederhana
|
||
2
|
Membangun keterampilan dasar
|
Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
|
|
Mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi
|
|
||
3
|
Menyimpulkan
|
Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
|
|
Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
|
|
||
Membuat dan menentukan hasil pertimbangan
|
|
||
4
|
Memberikan penjelasan lanjut
|
Mendefinisikan istilah danmempertimbangkan suatu definisi
|
|
Mengidentifikasi asumsi-asumsi
|
|
||
5
|
Mengatur strategi dan taktik
|
Menentukan suatu tindakan
|
|
(Evi Sapinatul,
2011)
D.
Hubungan Praktikum Virtual
Berbasis Problem Solving terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Sutarno, (2013) hasil tes awal penguasaan konsep, mahasiswa
dikelompokkan menjadi tiga kelompok kemampuan yaitu kemampuan tinggi, sedang,
dan rendah. Sebelum pembelajaran, mahasiswa pada kelompok kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah diberikan tes kemampuan berpikir kritis. Skor rerata tes
awal ketiga kelompok kemampuan tersebut secara berurutan yaitu38,46; 35,71; dan
24,62. Berdasarkan hasil uji beda rerata skor tes awal kemampuan berpikir
kritis ketiga sampel menggunakan uji Anova satu jalur diketahui bahwa kelompok
kemampuan tinggi dan sedang memiliki tingkat kemampuan berpikir kritis awal yang
tidak berbeda, dan keduanya lebih besar bila dibandingkan dengan kemampuan
berpikir kritis awal kelompok kemampuan rendah.
Setelah dilakukan
penerapan pembelajaran dengan menerapkan praktikum virtual berbasis problem
solving, selanjutnya diberikan tes akhir untuk mengetahui kemampuan
berpikir kritis akhir siswa pada masing-masing kelompok kemampuan. Skor rerata
tes akhir ketiga kelompok kemampuan tersebut secara berurutan yaitu 68,65;
63,85; dan 52,69. Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir kemudian dilakukan
analisis gain yang menunjukkan besarnya peningkatan skor ketiga kelompok
kemampuan tersebut. Besar rerata gain yang diperoleh ketiga kelompok kemampuan
tersebut secara berurutan sebesar 30,38; 27,69 dan 28,08.
Tabel 1. Data
tes kemampuan berpikir kritis
Kelompok Kemampuan
|
Rerata Tes Awal
|
Rerata Tes Akhir
|
Rerata Gain
|
Rerata N-gain
|
Kategori N-gain
|
Tinggi
|
38, 46
|
68, 65
|
30, 38
|
0, 48
|
Sedang
|
Sedang
|
35, 71
|
63, 85
|
27, 69
|
0, 43
|
Sedang
|
Rendah
|
24, 62
|
52, 69
|
28, 08
|
0, 38
|
Sedang
|
E.
Materi
Hukum Ohm
Masih ingat dengan hukum Ohm?
Sewaktu di SMP kalian telah belajar tentang hukum Ohm. Hukum ini mempelajari
tentang hubungan kuat arus dengan beda potensial ujung-ujung hambatan.
George Simon Ohm (1787-1854), inilah
nama lengkap ilmuwan yang pertama kali menjelaskan hubungan kuat arus dengan
beda potensial ujung-ujung hambatan. Seperti penjelasan di depan, jika ada beda
potensial antara dua titik dan dihubungkan melalui penghantar maka akan timbul
arus listrik. Penghantar tersebut dapat diganti dengan resistor misalnya lampu.
Berarti jika ujung-ujung lampu diberi beda potensial maka lampu itu dialiri
arus. Perhatikan Gambar 8.2.
(a) |
Dalam
eksperimennya, Ohm menemukan bahwa setiap beda potensial ujung-ujung resistor R
dinaikkan maka arus yang mengalir juga akan naik. Bila beda potensial
diperbesar 2x ternyata kuat arusnya juga menjadi 2x
semula. Apakah hubungan yang terjadi? Dari sifatnya itu dapat ditentukan bahwa
beda potensialnya sebanding dengan kuat arus yang lewat. Hubungan ini dapat
dirumuskan:
Gambar 2.1 |
V
~ I
Hubungan V dan I yang diperoleh Ohm
ini sesuai dengan grafikV-I yang diperoleh dari eksperimen, polanya seperti
pada Gambar 8.3. Agar kesebandingan di atas sama, Ohm menggunakan
konstanta perbandingannya sebesar R (resistivitas = hambatan), sehingga diperoleh persamaan
sebagai berikut.
Gambar 2.2 |
V = I R
................................
Persamaan inilah yang
kemudian dikenal sebagai hukum Ohm, dengan R = besar hambatan dan diberi satuan
Ohm disimbulkan Ω.
(Sri Handayani, 2009)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat data hasil penelitian yang sudah ada, maka kesimpulan dari makalah ini
adalah :
·
Terdapat pengaruh
penerapan praktikum virtual berbasis problem solving pada mata pelajaran
fisika terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelompok kemampuan
sedang sebesar 5,8% dan kelas rendah sebesar 12,7%. Pengaruh tersebut tergolong
pada kategori lemah. Sedangkan pada kelompokkemampuan tinggi penerapan
praktikum virtual berbasis problem solving tidak berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis.
B. Saran
·
Sebelum menerapkan praktikum
virtual dalam pembelajaran, sebaiknya tinjaulah terlebih dahulu pokok bahasan
yang akan diajarkan. Apakah pokok bahasan tersebut cocok menggunakan praktikum
virtual atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2006. Perencanaan
Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Bashori, H. 2010. Model Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving
pada Pembelajaran Konsep Pembiasan Cahaya untuk Meningkatkan Kemampuan Proses
Sains dan Penguasaan konsep Siswa SMP. Tesis. Bandung: Program Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Budi Santoso. 2013. Menyikapi Hasil PISA 2012.
(online) (http://budisansblog.blogspot.com/2013/12/menyikapi-hasil-pisa-2012.html). Diakses Tanggal 12/01/2014.
Elianur, R. 2011. Indonesia
Peringkat 10 besar terbawah dari 65 Negara Peserta PISA. (online) (http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/30/indonesia-peringkat-10-besar-terbawah-dari-65-negara-pesertapisa/). Diakses Tanggal
18/12/2013.
Ennis, Robert H. 1962. A concept of critical thinking. Harvard Educational Review, Vol 32(1), 81-111.
Handayani, Sri. Damari, Ari.
2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas X.
Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Hut, P. 2006. Virtual laboratories. Progress of Theoretical
Physics, Vol. 11, No. 3
Manurung, S dan Rustaman, N.
(2010). Hands and minds activity dalam pembelajaran fisika kuantum untuk
calon guru. Prosiding Seminar Nasional Fisika. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Mardiana,
Harissa. 2013. Keterampilan Berpikir Kritis, Cara
Mengajarkan, dan Cara Mengkurnya. (online). (http://harissa-mardiana.blogspot.com/2013/05/ketrampilan-berpikir-kritis-cara.html) Diakses Tanggal 12/01/2014.
Mustaji (2012). Pengembangan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. (online). (http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran) Diakses Tanggal
23/12/2013.
Paul, Richard (1993).Critical Thinking: How to
Prepare Students for a Rapidly Changing World. Foundation for Critical
Thinking.
Sapinatul Evi. 2011. Indikator
Berpikir Kritis dan Kreatif. (online)
(http://evisapinatulbahriah.wordpress.com/2011/06/30/indikator-berpikir-kritis-dan-kreatif/). Diakses Tanggal 1301/2014.
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasi Proses Belajar Mengajar. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Sutarno. 2013. Pengaruh Penerapan Praktikum Virtual Berbasis Problem Solving Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa. Bengkulu: Program Studi
Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Bengkulu.
Syafruddin, Muhammad. 2012. Model Problem
Solving Pada Diklat Calon Penghulu. (online) (http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/2.MODELPROBLEMSOLVING.pdf). Diakses Tanggal 12/01/2014.
SyahMuhibbin. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta; RajawaliPress
Udin S. Winataputra. Dkk. 2005. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta : Universitas
Terbuka (online). (http://garduguru.blogspot.com/2008/12/metode-pembelajaran-berbasis-masalah/)). Diakses Tanggal 18/12/2013.
Walker, Paul & Finney, Nicholas. (1999). Skill
Development and Critical Thinking in Higher Education. Higher Education
Research & Development Unit, University College, London WC1E 6BT, UK.
|